Rabu, 24 Juli 2013

41. A.D Pirous


Lahir :
Meulaboh,
Nangroe Aceh Darussalam,
11 Maret 1932

Pendidikan :
Fakultas Seni Rupa danDesain ITB,
Studi Desain Grafis diRochester Institute of Technology, New York,Amerika Serikat.

Profesi :
Dosen Institut TeknologiBandung  (1970),
Dekan dan Guru Besar yangmengajar mata kuliah SeniModern di Kawasan AsiaPasifik (1980)

Penghargaan :
Anugerah Budaya &Penghargaan 2 abad KotaBandung (2010)
Pirous dikenal di dalam dan di luar negeri sebagai pelopor seni rupa kontemporer IndonesiaKeluarga punya arti penting dalam perjalanan karier Pirous. A.D Pirousmasih tampil sebagai perupa bermutu tinggipandai mengelola pekerjaannyadan bernyali dalam membina hubungan-hubungan antar-bangsa di bidang seni rupa.Sepanjang kariernyaPirous tidak terjebak untuk hanya menuangkan ketrampilan yang diulang-ulangmelainkan lebih dahulu memberi konseptualisasi yang khusus danperenungan yang dalamPirous yang enerjikPirous yang rindu kebaruan dalam berkaryaadalah sosok yang jejak-jejak karyanyaakan selalu dikenang.***

Minggu, 21 Juli 2013

40. Seno Wahyu Sampurno

belum ada sumber

38.Lucia Hartini

Tempat / Tanggal lahir: Temanggung, Jawa tengah, Indonesia / 10 Januari 1959
Pendidikan: SSRI Yogyakarta, Indonesia (1976 – 1977)
PENGHARGAAN
2006 "Jakarta Art Awards", Penghargaan Khusus
1977 "Prathika Adhi Karya", untuk Sketsa dan Lukisan terbaik
1976 "Prathika Adhi Karya", untuk karya Sketsa terbaik.
PAMERAN TUNGGAL
2002 Pameran Tunggal "Spirit of Life" di Bentara Budaya Jakarta, Indonesia
1994 Pameran Tunggal "Batas Antara Dua Sisi" di Bentara Budaya Yogyakarta, Indonesia
1992 Pameran Tunggal di Bentara Budaya Jakarta, Indonesia
PAMERAN BERSAMA (selected)
2011
  • Pameran Seni Rupa Kelompok ILALANG "Dreamscapes" di Tembi Contemporay Yogyakarta
2010
  • Pameran bersama "Ratu Kidul dan Dunia Mitos Kita", di Balai Soedjatmoko (Bentara Budaya), Solo.
2006
  • Pameran bersama "Milestones Bienalle", Jakarta.
  • Pameran bersama "Kisi-Kisi Jakarta", Kakarta Art Awards.
2005
  • Pameran bersama "Still Life" di Raka Gallery, Bali.
2004
  • Pameran bersama "To Love Humanity" ROTARY CENTENNIAL, Jakarta.
  • Pameran bersama "ABSTAIN" Drawing Exhibition, Solo.
  • Pameran bersama "Person into Person" di Gracia Art Gallery, Surabaya.
2003
  • Pameran bersama Rumah Seni Vanessa, Jakarta.
  • Pameran bersama "Jenang Gulo Ojo Lali" IKAISYO di MuseumAffandi, Yogyakarta.
2002    
  • Pameran bersama "INTERPELLATION" Cp Open Biennale di Gallery Nasional, Jakarta.
  • Pameran bersama di Gallery Langgeng Magelang.
  • Pameran bersama Diversity in Harmony di Taman Budaya Yogyakarta
  • Pameran bersama Sepuluh Perempuan Pelukis di Taman Budaya Yogyakarta.
  • Pameran bersama "Saksi Mata" di Nadi Gallery Jakarta.
  • Pameran bersama di One Gallery Jakarta.
  • Pameran tunggal "Spirit of Life" Lucia hartini di Bentara Budaya Jakarta.

37. Wakidi

Wakidi (lahir di Plaju, PalembangSumatera Selatan1889 – wafat di BukittinggiSumatera Barat1979) adalah seorang pelukis naturalis asal Indonesia yang lukisannya banyak mengandung corak Mooi Indie (Hindia molek). Bersama dengan Abdullah Surio Subroto (1879-1941) (ayah Basuki Abdullah) dan Pirngadie (1875-1936), Wakidi adalah satu di antara tiga pelukis naturalistik Indonesia yang terkemuka di zamannya. Orang tuanya berasal dari SemarangJawa Tengah yang bekerja di pertambangan minyak Plaju.[1]
Wakidi mulai melukis sejak usia 10 tahun. Sebagai guru melukis, Wakidi sempat belajar dengan seorang pelukis Belanda bernama van Dick di KweekschoolBukittinggiSumatera Barat. Dia lulus dari sekolah itu pada tahun 1908 dan terus mengajar disana. Meskipun banyak berkarya, hampir semuanya dikoleksi orang, sehingga Wakidi tidak pernah mengadakan pameran lukisannya. Karya-karyanya banyak dikoleksi oleh istana kepresidenan dan sejumlah tokoh penting, seperti wakil presiden Indonesia, Mohammad Hatta dan Adam Malik.

36. Wahdi Sumanta

Lahir di Bandung, Jawa Barat, 13 Oktober 1917. Putra dari mantan Menko Polkam Sarono Indrokusumo Susilo. Minatnya kepada melukis sudah nampak sejak ia bersekolah di HIS. Setelah tamat HIS, ia belajar melukis pada Abdullah Soeriosoebroto (ayah pelukis Basuki Abdullah) selama beberapa bulan karena dorongan Dr. Kadmirah yang melihat bakat yang dimilikinya. Kemudian ia mengembangkan bakat itu dengan berlatih bersama-sama dengan pelukis Affandi, Barli Sasmitawinata, Sudarso dan Hendra Gunawan.

Tahun 1964, ketika Bandung diduduki Belanda, Wahdi mengungsi ke Sumedang. Selama dalam pengungsian ia tidak melukis sama sekali. Kembali dari pengungsian tahun 1951. Setiba di Bandungia menggabungkan diri dengan Himpunan Pelukis Bandung St. Lucas Gilde yang dipimpin oleh seorang dokter berkebangsaan Austria. Bersama anggota lainnya yang pribumi seperti Barli, Kerton Sujana, Rudiyat, dan Suwaryono (Soewarjono), Perkumpulan ini secara tetap setiap tahun menyelenggarakan pameran, paling tidak dua kali setahun dan biasanya di selenggarakan di Gedung YPK.
Sempat menjadi guru Sekolah Rakyat, namun hanya bertahan selama dua tahun. Sekeluarnya dari sekolah rakyat, ia membuka toko meubel 'Sri Tunggal' di Cicadas. Perusahaan itu berkembang dengan baik, sehingga ia mampu membeli sebidang tanah di Kiaracondong. Di atas tanah tersebut kemudian di bangun 'Sanggar Sangkuriang', yang di resmikannya pada tahun 1975.


Pertemuannya dengan Affandi mendorongnya kembali melukis. Tahun 1975, bersama Affandi, Barli, dan Sudarso mengadakan pameran bersama di TIM dengan sponsor Dewan Kesenian Jakarta. Kemudian ditahun 1976, ia mengadakan pameran tunggal atas sponsor Ajip Rosidi di Balai Budaya Jakarta. Tahun 1977, ia kembali mengadakan pameran tunggal di TIM atas Sponsor Dewan Kesenian Jakarta.

Atas bantuan sastrawan Ramadhan KH, pada tahun 1979, Wahdi sempat melawat ke Eropa, yang kemudian dijadikan kesempatan olehnya untuk melihat-lihat lukisan klasik dalam museum-museum di Eropa. Pelukis naturalis yang mempunyai sensitifitas terhadap pemandangan alam yang indah ini wafat di Bandung, 11 Maret 1996 akibat penyakit liver. 

35. Tio Tjay

lahir pada 1946 Di Jakarta dengan nama Tio Hok Tjay) adalah seorang pelukis Indonesia yang lama menetap di Brasil. Pada 1967 ia berimigrasi ke negara Amerika Selatan itu bersama keluarganya yang pindah ke sana.
Ia banyak menyelenggarakan pameran di São Paulo; pada 1971 hingga 1975 ia menetap di Manaus, dan pada 1976 ikut serta dalam pameran Bienal Nacional de São Paulo.
Lukisannya sangat kuat dipengaruhi oleh warna latin yang dominan di Brasil. Pada tahun 1980-an Tio Tjay kembali ke Indonesia dan berkarya di negara kelahirannya.

34. Taufan St

Sejak kanak-kanak sebagian besar hidupnya dilalui di sebuah kota kecil bernama Cipanas (1100 m dpl) yang berada di kaki Gunung Gede-Pangrango, Kabupaten Cianjur. Kota Cipanas terkenal sebagai kota tujuan wisata baik domestik maupun mancanegara. Di kota ini berdiri Istana Kepresidenan Republik Indonesia, di sebelah Utaranya terletak Kebun Raya Cibodas atau Taman Hutan Raya Cibodas (Cibodas Botanical Garden) yang berada dalam kawasan Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango (Gede-Pangrango National Park) pada ketinggian 1275 m dpl. Kedekatan bathin pada suasana alam pegunungan dan pengalaman semasa kecil yang indah inilah kemudian banyak berpengaruh dalam pembentukan dan proses pencapaian karirnya kelak.
Sejak kecil banyak melewatkan waktu bermain bersama teman-temannya untuk pergi ke gunung atau hutan yang berada tak jauh dari tempat tinggalnya. Kegemarannya melukis makin menjadi setelah dia merasakan betapa indahnya suasana alam itu dan dengan bekal bakat yang dimiliki dia mencoba merekam lewat goresan tangan disetiap karyanya. Akhirnya dia memutuskan untuk memperdalam bidang seni rupa guna mengasah bakat dan keterampilannya tersebut. Setelah menempuh pendidikan formal pada era 1970-an, Taufan St memperluas pengetahuan dan pergaulan dibidang seni rupa dengan berbagai kalangan baik seniman maupun institusi seni di Bandung. Pengaruh trend seni rupa global maupun lokal yang begitu kuat pada saat itu, mendorongnya untuk melakukan banyak percobaan-percobaan (experimental art) dengan berbagai macam teknik dan media. Banyak karya telah dihasilkan dalam prosesnya, namun semua itu ternyata tidak juga dapat memenuhi hasrat terdalam yang lama terpendam dalam jiwa, mendesak diungkapkan dalam wujud impresi dan ekspresi alam liar.
Seraya terus mencari jawaban dalam proses pencarian makna atas hasrat terbesarnya tersebut, Taufan St kemudian memutuskan untuk bekerja di bidang Commercial Art (en:Commercial_art) sebagai perancang grafis hingga akhir tahun 1990. Selepas berhenti dari pekerjaannya ini, dia kembali mulai menggeluti dunia seni rupa dan menggarapnya dengan tehnik (gaya) photo-realis atau hiper-realis (en:Hyperrealism_(visual_arts)). Dengan semakin matangnya pemahaman dan filosofi seni yang dibangun selama kurang lebih 2 dekade, membantu Taufan St menemukan jawaban atas hasrat idealisme dan konsep pemikiran tentang ekspresi berkesenian yang dicarinya. Jawaban ini kemudian dituangkan dalam filosofinya “seni tidak semata hanya untuk seni, tetapi seni untuk hidup dan kehidupan."
Berlandaskan filosofi tersebut Taufan St mulai meng-eksplorasi dan menggubah tema pada karya-karya lukisannya yang mencoba memadukan hasrat terdalam untuk mengungkap etika-estetika alam dalam ekspresi berkeseniannya. Adapun tema alam yang kemudian diangkat lebih menitikberatkan pada korelasi antara kondisi dan pengaruh lingkungan hidup saat ini, terhadap kehidupansatwa liar endemik dan langka di Indonesia beserta ekosistemnya, yang sering disebut dengan istilah "Seni Hidupan Liar" (Wildlife Art en:Wildlife_art). Tema ini dirasa perlu diangkat sebagai bentuk kepedulian dan rasa keprihatinannya dalam menyikapi situasi alam dan kelestarian lingkungan hidup yang semakin hancur hari demi hari.